|
www.google.com |
KON-SAPI-RASI
Ditangkapnya mantan presiden salah satu partai karena suap
impor sapi seakan membuka borok lama carut marut perniangaan daging sapi di
republic ini.
Apa tak keterlaluan namanya jika
negeri yang kaya padang rumput tetapi justri harga daging sapinya termahal
sekolong langit. Bank dunia mencatat harga daging sapi di Indonesaia adalah
yang tertinggi di Indonesia yang hanya
2,2 kg/ons/tahun harga daging sapi di Indonesia mencapai 100 ribu/kg.
Bandingkan dengan Malaysia, Singapura dan Vietnam yang setiap mulut dapat
mengonsumsi 7 kg daging sapi per tahun, tapi cukup membayar Rp. 45 RIBU/Kg.
Rakyat Amerika dan Australia pun hanya membayar sekitar Rp. 40 ribu per
kilogram daging sapi meskipun konsumsi mereka mencapai 35 kg daging sapi per
orang/tahun.
Fenomena aneh yang terjadi pada niaga
sapi di negeri ini seolah meluluh-lantakkan hokum ekonomi yang berlaku secara
luas, yaitu semakin tinggi permintaan maka semakin mahal harganya, Dengan
jumlah konsumsi daging sapi paling rendah tapi kok malah harganya yang
termahal? Ada apa ini ? Mengapa hokum permintaan daging sapi di negeri ini
sudah seperti harga barang antik, non market driven price atau harga tidak lagi ditentukan oleh kekuatan
permintaan pasar.
Banyak alas an yang bisa diajukan
kurangnya pasokan di pasar ditingkahi dengan kebijakan pembatasan impor. Hal
itu mereka tuding sebagai dalang dari mahalnya harga daging sapi. Importir sapi
berkilah bahwa pengurangan drastis
jumlah impor sapi yang dilakukan Kementrian Pertanian adalah biang kerok
masalah langkanya daging sapi sehingga harganya melambung liar tak terkendali.
Kementerian Pertanian yang dituding justru beralibi bhwa jumlah populasii sapi
local 14,6 juta ekor sudah lebih dari cukup untuk memasok kebutuhan daging di
pasar. Ambisi swasembada sapid an niat baik untuk menyejahterakan peternak sapi
lokal membuat kementerian pertanian nekat mengurangi kuat kuota impor sapi dari
101 ribu ton di tahun 2011 menjadi hanya 34 ribu ton di tahun 2012. Importir
sapi menuding pemerintah terlena dengan jumlah sapi yang terkesan wah, namun
lupa bahwa sapi-sapi itu bukan milik pemerintah, tapi milik masyarakat yang
banyak dari mereka menjadikan ternak sapinya untuk tabungan, sehingga tidak
selalu siap dipotong setiap waktu. Padahal, perut rakyat Indonesia membutuhkan
daging setara dengan 2000 ekor sapi setiap hari.
Dibalik saling tuding itu terselip
satu kepentingan yang nyaris tak tersentuh. Dialah kartel, segelintir cukong
niaga sapi yang leluasa mengendalikan berapa sapi yang boleh masuk pasar dan
berapa harga yang harus dibayar masyarakat untuk bisa menikmati daging sapi.
Aosiasi Pengusaha Daging dan Sapi Potong Indonesia mengindikasikan bahwa
importir sapi yang jumlahnya hanya sedikit itu, tidak hanya mengambil
keuntungan dari perniagaan impor, namun mereka juga memborong sapi-sapi lokal
dari peternak. Bayangkan saja, harga daging sapi lokal dibeli hanya sebesar 30
ribu/kilogram, tetapi bisa dijual dengan harga mendekati dengan daging sapi
impor (yang konon katanya sebagian justu merupakan daging kelas bawah, bahkan
nyaris tak layak makan oleh masyarakat di Negara pengekspor). Dengan praktik
seperti itu, persediaan sapi berada dalam kendali penuh para cukong. Aroma monopolistik
sangat kental, sehingga tak heran KPK pun angkat suara bahwa ada
praktik-praktik jahat dari para kartel untuk mempermainkan stok dan harga sapi
demi keuntungan yang tak terkira besarnya.
Tidak
hanya KPK, wakil rakat di DPR pun mengendus bau busuk konspirasi kartel
ini. Ketua Komisi IV DPR menerima informasi bahwa banyak rumah potong di Jawa
Timur ditekan oknum cukong untuk tidak beroperasi. Tujuannya apalagi kalau
bukan untuk membuat langka stok daging sapi. Faktanya, para pedagang Jakarta menjerit
bahkan sampai mogok karena stok kandas.
Harga pun semakin tak masuk aka. Ada misi lain yang dibidik penyumbatan pasokan
daging sapi lokal. Apalagi kalau bukan karena menginginkan pemerintah membuka
izin keran impor semakin banyak. Kuoata terbatas seperti ini membuat kartel
kehilangan potensi laba sengat besar. Harus ada geriliya ke tangan-tangan
penguasa agar kuota itu bisa dikembalikan ke masa masa jayanya dulu. Nyatanya,
kementerian dengan gagah berani mengajukan penabahan kuoata impor sapi sebanyak
105 ribu ton untuk tahun 2013. Meskipun belum terbukti, namun kuat digaan bahwa
usulan itu sudah disusupi oleh sejumlah kepentingan para importir besar.
Mahalnya harga daging sapi tak
terlepas dari bobroknya system pemberian kuoata impor kepada segelintir cukong
besar. Tidak ada system tender terbuka dilakukan. Semuanya berdasarkan
kesepakatan semata. Kementerian Pertanian mengklaim bahwa proses menentukan
siapa yang boleh mengimpor disepakati oleh tiga instansi, yaitu Kementerian
Pertanian, Kementerian Perdangangan dan menko perekonomian. Anehnya, Menko
justru membantah mereka ikut menentukan siapa yang boleh mengimpor. Praktek
sperti ini membuka celah main matabagi kartel. Mereka rela menggelontorkan duit puluhan miliar untuk bisa tetap menjadi
importir. Skandal yang melibatkan parti, tentu saja itu terbukti,
mengindikasikan bahwa sang pelaku dijanjikan duit 40 miliar untuk kuota 80 ribu
ton sapi impor. Artinya, ada komisi untuk kompolatan pelaku itu. Dan, duit
sebsar 1 miliar yang tertangkap tangan diterima oleh mereka hanyalah prrsekot
belaka.
Sumber :Afred Suci, hal 423 cetakan kedua.