Mafia
Sepakbola di Indonesia..
ilustrasi kepedihan rakyat bola |
Siapa bilang sepakbola Indonesia sudah
bebas dari yang namanya mafia. Mulai dari pengaturan skor, pengaturan tim-tim
yang akan bertanding siapa yang menang serta pengaturan juara pun semuanya
diatur. Saya menemukan sebuah akun twitter yang mengupas secara tuntas sisi
kelam perjalanan sepakbola Indonesia dari awal sampai sekarang. Kita tak bisa
pungkiri bahwa sekarang ini sepakbola adalah olaraga favorit semua orang, di
semua kalangan dari anak-anak, orang dewasa, sampai orang tua pun ikut
menyaksikan sebuah pertandingan sepakbola. Namun, hal i ni justru dimanfaatkan
sekelompok orang untuk meraup keuntungan demi kepentingan mereka. Sudah menjadi
rahasia umum kalau federasi sepakbola Indonesia ini dijadikan alat politik bagi
sekelompok orang. Olaraga yang seharusnya bebas dari politik dan bertujuan
untuk hiburan bagi masyarakat umum justru disalahgunkan miris memang. Ada
beberapa peristiwa yang berhasil saya rangkum dari sumber-sumber yang dapat
dibuktikan kelak. Masa paling kelam dalam sejarah Liga Indonesia itu terbagi
menjadi beberapa bagian, yaitu era galatama, era Liga Djarum dan era ISL. Di
era galatama baru diketahui bagaimana praktek-praktek kotor itu terjadi,
terutama sejak era Nurdin Halid dengan ISL-nya. Pengaturan skor di era Galatama
ini sebenarnya sudah ada sejak lama, namun tidak se-mencolok pengaturan skor di
klub Cahaya Kita Jakarta. Saksinya adalah Acub Zaenal ketika mengetahui bahwa
bandar atur laga PERKESA 78 lawan BUANA PUTRA di Jakarta, tahun 1979. Di tahun
itu, belakangan skandal-skandal pengaturan skor justru mencuat, yang paling
parah dialami oleh Cahaya Kita, klub GALATAMA asal Jakarta. Cahaya kita ini
kalau tidak salah dimiliki oleh pengusaha asal tiongkok yang bermukim di
Jakarta. Salah satu korban adanya praktek suap di era GALATAMA ini adalah
Jafeth Sibi yang dipecat PERKESA 78 karena dibayar oleh Jeffry Gunawan. Siapa
Jeffry Gunawan ? Jeffry Gunawan ini
orang Cahaya Kita. Sibi dibayar oleh CAHAYA KITA agar PERKESA 78 mengalah dari
CAHAYA KITA dan benar saja, ketika itu PERKESA kemudian kalah 0 – 1 oleh CAHAYA KITA. Acub Zaenal berang, sibi pun dipecat dan
diboikot dari GALATAMA. Sebenarnya ada empat orang yang terlibat suap ini,
yaitu Baso Ivak dalam, Yulius Wolf, Frederick dan Saul. Namun PSSI hanya beri
warning kepada mereka. Masa kelam dalam GALATAMA terus terulang behakan ketika
dimana NIAC Mitra bubar karena tak setuju dengan format kompetisi. Suap dan
atur skor merajalela, akhirnya penonton pun pergi dan kembali dukung klub
perserikatan sehingga GALATAMA merugi. Bahkan, pengaturan skor dan usap itu
sempat bikin geger sepakbola Indonesia di akhir 70-an hingga awal 80-an. Kalau
gak Percaya tanya.. Kemudian GALATAMA dan PERSERIKATAN di lebur menjadi LIGA
INDONESIA di tahun 1995 dimana PERSIB jadi juara perdana di musim tersebut. Sebenarnya
masih banyak kecurangan-kecurangan yang terjadi terlebih ketika era Nurdin
Halid menguasai PSSI. Siapapun tau, Nurdin kuasai PSSI bersama bekingan salah
satu partai besar dimana belakangan ada blueprint untuk menuju 2014. Ada salah
satu hal yang menarik perhatian di tahun 2006 ketika PERSIK bertemu PSIS di
Partai final, yang seharusnya PSIS dikondisikan juara. Ketika itu, di saat
semifinal pun, pihak PT LI sangat ceroboh degan menyelenggarakan pertandingan
final i BATANG, sehingga ricuh. Padahal, jika mau berpikir jernih, itu semua
hanyalah sebuah kode untuk memuluskan jalan PSIS menjadi juara di musim 2006.
Sema dikondisikan. Ketika itu, PSIS dikondisikan juara karena faktor Yoyok
Sukawi dan anaknya yang jadi manajer PSIS. Di putaran I, semua terlihat jelas.
Pernah ketika itu PSIS tak diuntungkan wasit padahal sudah membayar sejumlah
uang , setelah pertandingan selesai pun
si YS mengejar wasit dan memukul wasit tersebut. Pengkondisian itu
berlanjut terus hingga final Divisi Utama 2006 antara PSIS menghadapi Persik
Kediri. Keduanya sarat kepentingan politik. PSIS ada kepentingan Sukawi
Sutarip untuk menjadi WALIKOTA sedangkan
PERSIK ada kepentingan IWAN BUDIANTO untuk menjadi WALIKOTA KEDIRI. Ada lagi
yang lebih miris hal ini sangat merugikan para pecinta sepakbola NASIONAL.
Bagaimana tidak ada sebuah konspirasi jika ada EO yang ingin medatangkan sebuah
tim-tim elit dunia ke Indonesia. Merke (EO) harus membayar sejumlah uang untuk
para elit PSSI demi mendapatkan rekomendasi dari PSSI sangat disayangkan.
Ketika jutaan mimpi masyarakat sepakbola Indonesia ingin menyaksikan tim idola mereka berlaga di
Indonesia, namun hal ini justru harus terganjal oleh kepentingan kelompok. Di era Nurdin Halid EO harus menyiapkan pungli
300 juta untuk PSSI sisanya untuk PT LI, tapi tak tau lagi sekarang..
Sumber : @footballnesia
Sumber : @footballnesia
0 komentar:
Posting Komentar